About

Pages

Sabtu, 08 November 2014

Perbedaan Konsep Tuhan Dalam Islam dan Berbagai Agama Lainnya

Perbedaan Konsep Tuhan Dalam Islam dan Berbagai Agama Lainnya

Kata Tuhan merujuk kepada suatu zat abadi dan supranatural, biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang mirip dengan ini misalkan sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada, sumber segala yang ada,kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup atau apapun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.

Banyak tafsir daripada nama “Tuhan” ini yang bertentangan satu sama lain. Meskipun kepercayaan akan Tuhan ada dalam semua kebudayaan dan peradaban, tetapi definisinya lain-lain. Istilah Tuan juga banyak kedekatan makna dengan kata Tuhan, dimana Tuhan juga merupakan majikan atau juragannya alam semesta. Tuhan punya hamba sedangkan Tuan punya sahaya atau budak. Kata Tuhan disebutkan lebih dari 1.000 kali dalam Al-Qur’an,sementara di dalam Alkitab kata Tuhan disebutkan sebanyak 7677 kali

Secara filsafat, prestasi dalam pencarian Tuhan biasanya berujung pada penemuan eksistensi Tuhan saja, dan tidak sampai pada substansi tentang Tuhan. Dalam istilah filsafat eksistensi Tuhan itu dikenal sebagai absolut, berbeda (distinct) dan unik. Absolut artinya keberadaannya mutlak bukannya relatif. Hal ini dapat dipahami, bahwa pernyataan semua kebenaran itu relatif itu tidak benar. Kalau semua itu relatif, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa sesuatu itu relatif. Padahal yang relatif itu menjadi satu-satunya eksistensi realitas. Ibarat warna yang ada di seluruh jagat ini hanya putih, bagaimana kita bisa tahu putih padahal tidak ada pembanding selain putih. Dengan demikian tidak bisa disangkal adanya kebenaran itu relatif, dan secara konsisten tidak bisa disangkal pula adanya kebenaran mutlak itu. Dengan kemutlakannya, ia tidak akan ada yang menyamai atau diperbandingkan dengan yang lain (distinct). Kalau Tuhan dapat diperbandingkan tentu tidak mutlak lagi atau menjadi relatif. Karena tidak dapat diperbandingkan maka tuhan bersifat unik, dan hanya ada dia satu-satunya. Kalau ada yang lain, berarti dia tidak lagi mutlak.

Dalam gagasan Nietzsche, istilah “Tuhan” juga merujuk pada segala sesuatu yang dianggap mutlak kebenarannya. Sedangkan Nietzsche berpendapat tiada “Kebenaran Mutlak”; yang ada hanyalah “Kesalahan yang tak-terbantahkan”. Karenanya, dia berkata, “Tuhan telah mati”. “Kesalahan yang tak-terbantahkan” dengan “Kebenaran yang-tak terbantahkan” tidaklah memiliki perbedaan yang signifikan. Sekiranya pemikiran Nietszhe ini dimanfaatkan untuk melanjutkan proses pencairan Tuhan, maka Tuhan itu suatu eksistensi yang tak terbantahkan. Dengan demikian eksistensi absolut, mutlak dan tak terbantahkan itu sama saja. Jadi, persoalan umat manusia dalam proses pencairan Tuhan tiada lain proses penentuan peletakan dirinya kepada (segala) sesuatu yang diterimanya sebagai ‘tak terbantahkan’, atau mutlak, atau absolut. Tuhan sebagai segala sesuatu yang dianggap penting dan dipentingkan sehingga dirinya rela didominirnya

Dengan kemutlakannya, Tuhan tentunya tidak terikat oleh tempat dan waktu. Baginya tidak dipengaruhi yang dulu atau yang akan datang. Tuhan tidak memerlukan tempat, sehingga pertanyaan tentang dimana Tuhan hanya akan membatasi kekuasaannya. Maka baginya tidak ada kapan lahir atau kapan mati.

Manusia dalam mencari Tuhan dengan bekal kemampuan penggunaan akalnya dapat mencapai tingkat eksistensinya. Kemungkinan sejauh ini, kemutlakan Tuhan menyebabkan manusia yang relatif itu tidak dapat menjangkau substansi Tuhan. Dengan demikian informasi tentang substansi Tuhan itu apa, tentunya berasal dari Sang Mutlak atau Tuhan itu sendiri.

Di dunia ini banyak agama yang mengklaim sebagai pembawa pesan Tuhan. Bahkan ada agama yang dibuat manusia (yang relatif) termasuk pembuatan substansi Tuhan itu tentu. Karena banyaknya nama dan ajaran agama yang bervariasi tidak mungkin semuanya benar. Kalau substansi mutlak ini bervariasi, maka hal itu bertentangan dengan eksistensinya yang unik. Untuk menemukan informasi tentang substansi yang mutlak, yang unik dan yang distinct itu dapat menggunakan uji autentistas sumber informasinya. Terutama terkait dengan informasi Tuhan dalam memperkenalkan dirinya kepada manusia apakah mencerminkan eksistensinya itu.

Tuhan dalam Agama samawi

Agama samawi atau agama langit dimaksudkan untuk menunjuk agama Yahudi, Nasrani (Kristen/Katolik) dan Islam. Di antara agama-agama ini menggunakan sebutan/panggilan yang berbeda yang dikarenakan perbedaan bahasa dan ajarannya.

  • Allah, sebutan bagi Tuhan dalam bahasa Arab. Biasanya dipakai oleh umat Islam. Dalam agama Islam, Tuhan memiliki 99 nama suci.
  • Yehowa atau Yahweh, salah satu istilah yang dipakai Alkitab. Istilah ini berasal dari istilah berbahasa Ibrani tetragrammaton YHVH (יהוה). Nama ini tidak pernah dilafalkan karena dianggap sangat suci, maka cara pengucapan YHVH yang benar tidaklah diketahui. Biasanya yang dilafalkan adalah Adonai yang berarti Tuan.
  • Tritunggal Mahasuci, yang artinya adalah Bapa, Putra, dan Roh Kudus, terutama dipakai dalam Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks. Konsep ini dipakai sejak Konsili Nicea pada tahun 325 M. Kata “Tritunggal” sendiri tidak ada di Alkitab. Di dalam Ulangan 6:4 ditulis Tuhan itu Esa. Keesaan ini pada bahasa aslinya (ekhad) adalah “kesatuan dari berbagai satuan”. Contohnya, Kejadian 2:24 ditulis “keduanya (manusia dan istrinya) menjadi satu (ekhad) daging” berarti kesatuan dari 2 manusia. Di Kejadian 1:26 Allah menyebut diri-Nya dengan kata ganti “Kita”, mengandung kejamakan dalam sifat Tuhan. Pengertiannya adalah satu substansi ke-Allahan, namun terdiri dari tiga pribadi. Dalam Perjanjian Lama, Allah diperkenalkan sebagai Allah Bapa. Dalam Perjanjian Baru, Allah menjelma sebagai manusia dalam wujud Allah Anak (Allah Putra), dan setelah Allah Putra kembali ke sorga, maka datanglah Allah Roh Kudus yang menyertai orang-orang Kristen. Allah Anak bukan diperanakkan dalam pengertian manusia, karena Anak keluar dari Bapa yang diwujudkan sebagai Firman (Allah). Allah mencipta dunia melalui Firman Allah, seperti Tuhan ber-Firman: “Jadilah terang”. Pada waktu Tuhan mengatakan “Jadilah terang”, maka Firman Allah bekerja, dan Firman Allah itu adalah Allah Anak yang datang ke dunia dengan wujud manusia yaitu Yesus Kristus. Allah Roh Kudus adalah Allah yang keluar dari Allah Bapa dan Allah Anak, yang mempunyai tugas menginsafkan dunia dan mengenalkan dunia akan Kristus dan menguatkan kesaksian tentang Yesus Kristus, serta menyertai orang-orang yang percaya Kristus sampai akhir zaman.

Dalam Islam

Dalam konsep Islam, Tuhan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam. Islam menitik beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa (tauhid). Dia itu wahid dan Esa (ahad), Maha Pengasih dan Maha Kuasa. Menurut al-Qur’an terdapat 99 Nama Allah (asma’ul husna artinya: “nama-nama yang paling baik”) yang mengingatkan setiap sifat-sifat Tuhan yang berbeda. Semua nama tersebut mengacu pada Allah, nama Tuhan Maha Tinggi dan Maha Luas. Di antara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal dan paling sering digunakan adalah “Maha Pengasih” (ar-rahman) dan “Maha Penyayang” (ar-rahim).

Konsep Tuhan dalam Islam telah memperlihatkan pola pikir yang berbeda dengan konsep Tuhan dalam agama lain seperti Kristen, Yahudi, Budha, Hindu maupun dengan konsep Tuhan dalam tren pluralisme agama. Kedua kalangan ini sama-sama menghadapi perbedaan konsep teologis dengan konsep teologis dalam Islam. Kalangan non muslim membangun konsep Tuhan di atas landasan yang berbeda, sedangkan kalangan pluralis membangun doktrinnya di atas keraguan-raguan dengan meragukan kebenaran yang seharusnya diyakini.

Konsep Tuhan Dalam Islam dan Berbagai Agama Lainnya

Beberapa sarjana barat menyatakan bahwa Muhammad juga menggunakan istilah Allah dalam berkomunikasi dengan pagan Arab dan Yahudi atau Nasrani untuk menegakkan dasar umum dalam memahami nama Tuhan, sebuah klaim Gerhard Böwering menyatakan keraguan.

Konsep Tuhan dalam Islam vs tuhan dalam Arab pra-Islam

Ketika membandingkan politeisme Arab pra-Islam, Tuhan dalam Islam tidak memiliki teman dan sekutu maupun pertalian antara Tuhan dengan Jin. [17] Arab pagan pra-Islam bermula dengan adanya berhala yang dibawa ke tanah Arab oleh ‘Amr bin Luhay. Mereka lalu mencampur-adukkan antara monoteisme yang dibawa Ibrahim dan paganisme. Mereka percaya takdir yang kabur, kuat, dan tidak dapat ditawar-tawar melebihi apa yang manusia tidak dapat kendalikan. Paham ini diganti dengan gagasan Islam Tuhan Yang Maha Pemurah namun Maha Kuasa.

Tuhan dalam Islam vs Tuhan dalam Yahudi

Menurut Francis Edwards Peters, “Al-Qur’an menuntut Muslim untuk beriman, dan sejarawan menyetujui bahwa Muhammad and pengikutnya menyembah Tuhan yang sama dengan Tuhan Yahudi [lihat Al-Qur’an Surah Al-‘Ankabut[29]:46]. Allah Al-Qur’an adalah Tuhan Pencipta yang sama yang mengadakan perjanjian dengan Ibrahim”. Peters menyatakan bahwa al-Qur’an menggambarkan Allah lebih kuat dan luas daripada Yahweh, dan sebagai Tuhan alam semesta, tidak seperti Yahweh yang hanya lebih dekat pada orang-orang Israel.[9] Menurut Encyclopedia Britannica (lihat juga bagian di bawah untuk perbandingan kasih Tuhan dalam Islam dan Kristen) : Tuhan, dikatakan dalam al-Qur’an, “mencintai yang berbuat baik,” dan dua bagian dalam al-Qur’an mengekspresikan sebuah kasih yang saling mengerti antara Tuhan dan manusia, namun Yudeo-Kristen mengajarkan “cintai Tuhan dengan segenap hatimu” tidak dirumuskan dalam Islam. Tekanan ini lebih pada kebebasan kehendak Tuhan, sehingga setiap orang harus berserah diri. Yang paling utama, “menyerahkan diri kepada Allah” (Islam) merupakan agama itu sendiri.

Tuhan dalam Islam vs Tuhan dalam Kristen

Islam dengan tegas menolak kepercayaan Kristen bahwa Tuhan itu tiga pribadi dalam satu hakekat (lihat Tritunggal). Dalam konsepsi Islam tentang Tuhan, tidak ada kesetaraan antara Tuhan dan ciptaan. Kehadiran Tuhan dipercaya ada dimanapun, dan tidak menjelma sebagai siapapun atau apapun.

Kristen Barat merasa Islam sebagai agama kafir selama Perang Salib pertama dan kedua. Muhammad dipandang sebagai setan atau tuhan palsu yang disembah bersama Apollyon dan Termangant dalam trinitas yang tidak suci. Pandangan tradisional Kristen adalah bahwa Nabi Muhammad SAW sama dengan Tuhannya Yesus.

Dalam Islam “Al-Qur’an dengan tegas dan lugas mengatakan bahwa: tiada Tuhan selain Allah, titik. Konsep tauhid dalam Al-Qur’an tidak pernah menyatakan bahwa Tuhan Pencipta itu adalah Tuhan dari segala tuhan. Sedangkan dalam agama-agama lainnya keesaan Tuhan itu kadang tidak dinyatakan secara konsisten.”.Perbedaan agama Yahudi dan Nasrani juga dengan jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Dan orang-orang Yahudi serta Nasrani mengatakan: ‘Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya.’” (Q.S. Al-Maidah: 18). Yang dimaksud dengan kalimat “Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya”, menurut Imam Ibnu Al-Jauzi adalah Uzair dan Isa a.s

Ludovico Marracci (1734), penerima pengakuan dosa Paus Innosensius XI, menyatakan: Muhammad dan pengikutnya yang menganggap ortodoks, telah dan melanjutkan untuk memiliki gagasan Tuhan yang asli dan logis dan sifat-sifat-Nya (selalu mengecualikan dan menolak Trituggal), muncul sangat jelas dari Qur’an itu sendiri dan seluruh kepercayaan akan Tuhan Muhammad, sehingga akan membutuhkan banyak waktu untuk menyangkal yang beranggapan Tuhan Muhammad berbeda dengan Tuhan sejati.

Banyak pesan-pesan dalam Perjanjian Lama mengacu pada kasih Tuhan. Tema sentral dalam Perjanjian Baru adalah kasih Tuhan dalam perantaraan Yesus. Dalam Islam, kasih Tuhan muncul dalam seluruh tanda-tanda dan penciptaan Bumi dimana manusia dapat hidup dalam kehidupan yang layak. “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa; Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]:21-22)

Pujian umat Muslim kepada Tuhan yang paling umum adalah ‘Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang’. Dua lainnya dari “asma’ul husna” Tuhan ‘Maha Kasih sayang’ (wadud) dan ‘Maha Pemberi’ (wahhāb). William Montgomery Watt berpegang bahwa Kristen memiliki lebih banyak tekanan dalam aturan tingkah lakuTuhan sebagai penggembala yang pergi mencari domba-domba yang hilang dan menyelamatkannya. Di sisi lain, Islam menolak sebagian doa bagi siapapun yang telah kafir. Dalam Islam, Watt mengatakan, Tuhan menyediakan nikmat bagi setiap golongan untuk mencapai kehidupan kekal (contoh: kehidupan di Surga) dengan mengirim utusan atau nabi untuk mereka. Islam juga mengembangkan doktrin perantaraan Muhammad pada Hari Kiamat yang akan menerima mereka dengan baik, meskipun yang berbuat dosa akan diadili atas dosa-dosa mereka baik di bumi maupun di neraka

Konsep Tuhan Kaum Pluralis

Kaum pluralis berpandangan bahwa agama adalah ekspresi budaya yang relatif sifatnya. Maka tak masalah menurut mereka jika umat Islam sesekali menyebut Tuhannya dengan Yahweh, God,Lord, atau Yesua. Tohmuaranya tetap pada satu Tuhan. Sedangkan di kalangan penganut agama Kristen, terjadi perdebatan mengenai sebutan untuk Tuhan. Seperti kata “Yesus” diubah menjadi “Yesua” yang dilakukan oleh kelompok Kristen yang menyebut dirinya “Jaringan Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh”.2Kelompok ini juga mengubah kata “Tuhan” menjadi “Yahwe”. Dalam agama Yahudi ada sebutan Lata, Uzza, Hubal, disamping sebutan untuk Allah sendiri. Gejala ‘spekulasi teologis’ semacam ini terjadi oleh sebab tak ada sumber yang otentik tentang kebenaran konsep dan nama Tuhan. Yang terjadi adalah dugaan-dugaan yang tak menghasilkan keyakinan sama sekali.

Bagi umat Islam, penyebutan nama Tuhan yang bersifat spekulatif tentu sangat bermasalah. Sebab, hal ini bisa mengaburkan konsep tauhid Islam. Penyebutan kata “Allah” di dalam Al-Qur’an menandakan bahwa penyematan nama untuk Dzat Yang Maha Kuasa haruslah bersumber dari Allah sendiri dengan sifat-sifat yang sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Dengan berdasar pada sumber yang otentik akan mencegah spekulasi akal. Konsep Tuhan dalam Islam juga menegaskan bahwa jalan menuju Tuhan hanya satu, yakni Islam. Jika tidak maka tak mungkin ada do’a,ihdinash shirathal mustaqim(Tunjukilah kami jalan yang lurus).

Dipostingkan oleh : http://korananakindonesia.com/

0 komentar:

Posting Komentar